Article kali ini mengenai kemelut golkar
(dalam tinjauan hukum) berikut ulasannya.
Belakangan
kepengurusan ganda kembali menerpa partai politik. Elite partai saling
menggelar muktamar atau musyawarah versi masing-masing kubu yang ujung-ujungnya
merebut kursi kepengurusan, baik ketua umum maupun personalia partai. Yang
terjadi kemudian, masing-masing muktamar atau musyawarah menyusun kepengurusan
dan mengklaim susunan kepengurusan mereka yang paling sah.
Apalagi dalam UU Parpol ada ketentuan setiap
partai politik harus mendaftarkan akta kepengurusannya kepada Kementrian Hukum
dan HAM. Maka para elit yang sedang bertikai ini selain mencari keabsahan
melalui gugatan pengadilan negeri dan PTUN, juga meminta pengakuan dari Menteri
Hukum dan HAM.
Perpecahan di internal tubuh parpol bukan
kali ini saja terjadi. Perpecahan partai politik terjadi sejak tahun 1955
ketika partai-partai Islam dan nasionalis terpecah menjadi dua kubu. Pada era
Orde Baru semua partai dikonsolidasikan hingga hanya ada tiga partai politik,
yakni Golkar, PPP, dan PDI. Namun, di penghujung Orde Baru, perpecahan partai
kembali terjadi saat Partai Demokrasi Indonesia menggelar dua kali kongres.
Kongres pertama di Bali yang memenangkan Megawati sebagai ketua umum dan
kongres kedua atau tandingan digelar di Medan dan memenangkan Soerjadi sebagai
ketua umum.
Pemerintahan Orde Baru saat itu hanya
mengakui kepengurusan PDI versi Soerjadi. Namun sikap pemerintah yang lebih
berat sebelah dan condong mendukung PDI versi Soerjadi mendapat perlawanan dari
kader partai di level bawah. Akibatnya PDI saat itu carut-marut.
Dan di era pemerintahan Jokowi, perpecahan
dan kepengurusan ganda partai politik kembali terjadi. Seperti mengulang
sejarah, dua kubu saling menggelar muktamar atau musyawarah. Kali ini perpecahan
dan kepengurusan ganda terjadi pada Partai Golkar dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Masing-masing elite partai menggelar
pemilihan ketua umumnya versi masing-masing. Sekjen Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) Romahurmusy menggelar muktamar di Surabaya. Muktamar yang
melahirkan Romahurmusy sebagai ketua umum, diklaim paling sah dan mereka
langsung mendaftarkan hasil muktamarnya ke Menkumham untuk mendapatkan
legitimasi dari pemerintah.
Sementara Ketua Umum PPP Suryadarma Ali juga
menggelar muktamar di Jakarta dan melahirkan Djan Faridz sebagai ketua umum.
Mereka juga mengklaim kepengurusannya paling sah.
Nasib yang sama juga menerpa Partai Golkar.
Di internal partai yang pernah berkuasa di era Orde Baru ini muncul dua
kongres. Satu kongres digelar ketua umumnya Aburizal Bakrie di Bali dengan
memenangkan Aburizal sebagai ketua umum. Sementara elite Golkar yang lain,
yakni Wakil Ketua Umum Agung Laksono, Ketua DPP Priyo Budi Santoso dan Ketua
DPP Agus Gumiwang Kartasasmita dan beberapa pengurus teras Partai Golkar
menggelar Kongres versi mereka di Ancol Jakarta. Dan kongres itu juga
melahirkan kepengurusan baru di bawah ketua umumnya Agung Laksono.
Akibat adanya dualisme kongres ini kemudian
melahirkan kepengurusan ganda di tubuh partai tersebut. Masing-masing kubu
mengklaim merekalah yang paling sah, paling sesuai anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga partai, dan paling legitimate. Lantas mana dari kepengurusan ganda
ini yang paling sah.
Dalam artikel ini tidak bermaksud menelaah
dari aspek politik namun saya akan membedahnya dari aspek tinjauan hukum.
Karena aspek hukum lebih mengedepankan legitimasi yang sah.
Kecenderungan elite parpol membuat tandingan
merupakan keniscayaan dalam politik. Sejatinya politik itu kekuasaan dan
jabatan, meskipun kaum idealis selalu mengidealkan politik seperti cita-cita
Plato dan para filsuf lainnya. Jika
politik itu kekuasaan, maka elite politik cenderung merebut jabatan tertinggi
dalam politik dan menyingkirkan lawan-lawannya.
Yang jadi masalah adalah, apakah cara-cara
yang dilakukan beretika dan konstitusional atau tidak. Ada pandangan lainnya,
fenomena tersebut akibat intervensi politik penguasa untuk memecah belah parpol
oposisi, seperti yang dilakukan Soekarno maupun Soeharto.
Studi tentang itu cukup banyak. Oleh
karenanya salah satu agenda awal dari Reformasi adalah perubahan paket UU
politik, salah satunya UU Kepartaian. Prinsipnya, jika ketentuan/mekanismenya
telah diatur dalam UU, maka intervensi kekuasaan dapat diminimalisir.
Sejak penghujung Orde lama hingga era
reformasi, partai politik rentan terpecah. Elite pengurus membuat kongres atau
muktamar versi masing-masing. Kemudian masing-masing mengklaim paling sah
sesuai AD dan ART partai. Jika ditinjau dari aspek hukum untuk melihat mana
yang legitimate atau sah dan mana yang tidak harus dikembalikan pada ketentuan
UU Partai Politik dan AD/ART masing-masing.
UU Parpol telah detil mengatur tentang syarat
pendirian, pembentukan, pembubaran, dan pengawasan terhadap partai politik,
termasuk di dalamnya mengenai kepengurusan dan keuangan. Jika terjadi sengketa
internal partai politik dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan
negeri adalah putusan pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi ke
MA.
Perkara diselesaikan oleh PN paling lama 60 hari
dan oleh MA paling lama 30 hari. Sepanjang tidak diatur oleh UU, tata cara
penyelesaian perkara parpol dilakukan menurut hukum acara yang berlaku.
Terkait kepengurusan, partai politik memiliki
kepengurusan tingkat nasional, provinsi dan kab/kota serta sampai tingkat
desa/kelurahan. Prinsipnya, kepengurusan partai di tiap tingkatan dipilih
secara demokratis melalui forum musyawarah sesuai AD/ART partai. Dalam hal
pergantian kepengurusan di tingkat nasional sesuai AD/ART, pengurus baru
didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM paling lambat 30 hari (Pasal 23
ayat (2) UU No. 2 Tahun 2011).
Kementerian Hukum HAM menerbitkan surat
keputusan tentang pengurus yang sah paling lama 7 hari sejak diterimanya
persyaratan (Pasal 23 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2011). Jika terdapat keberatan
dari anggota atau pihak di internal partai dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan. Dan selama proses sengketa di pengadilan (gugatan PTUN),
kepengurusan yang sah berdasar pada surat keputusan KemenkumHAM.
Apakah putusan pengadilan baik di tingkat
pengadilan negeri hingga kasasi, PTUN atau pengesahan dari Menhukham sudah
melegitimasi bahwa pengurus yang dimenangkan dalam putusan tersebut sah dan
berhak menggunakan semua hak dan kewajiban parpol.
Sebagai negara hukum, ukuran yang sah dan
legitimate adalah putusan hukum. Surat keputusan Menteri Hukum dan HAM, sebagai
subyek TUN selama belum ada putusan pengadilan yang membatalkannya adalah sah
dan legitimate. Memang ada upaya hukum lanjutan sampai kasasi, namun di mata
pemerintahan dalam proses yang berjalan, putusan yang ada tetap berlaku.
Jika terjadi sengketa internal partai politik
dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan
pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi ke MA. Perkara diselesaikan
oleh PN paling lama 60 hari dan oleh MA paling lama 30 hari. Sepanjang tidak
diatur oleh UU, tata cara penyelesaian perkara parpol dilakukan menurut hukum
acara yang berlaku.
Jika sudah ada putusan Menteri Hukum atau
pengadilan, maka kepengurusan ganda sudah tidak ada lagi. Karena hanya ada satu
yang sah untuk menggunakan lambang, kantor dan sarana prasarana partai termasuk
melakukan kegiatan atas nama partai.
Lebih jelasnya bunyi UU Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik.
Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik
diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan
ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain
yang dibentuk oleh Partai Politik. (3) Susunan mahkamah Partai Politik atau
sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan
Partai Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian perselisihan internal
Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling
lambat 60 (enam puluh) hari. (5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan
lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang
berkenaan dengan kepengurusan.
Putusan pengadilan yang sudah berkekuatan
hokum tetap (inkracht) jelas menjadi landasan hukum bagi parpol yang
dimenangkan. Tapi selama proses hokum berjalan tentu keputusan pejabat
berwenang yang ditunjuk UU (dalam hal ini MenhukHAM) tentu bias menjadi
pegangan bagi pemerintah maupun masyarakat.
Seperti kita ketahui proses hukum bisa
memakan waktu bertahun-tahun jika mencapai kasasi, sementara proses politik
kenegaraan, agenda-agenda seperti Pilkada, hubungan parpol dengan pemerintahan
harus tetap berjalan.
Perlukah dalam penyelesaian konflik parpol
dilibatkan mediator independen untuk membantu mencarikan solusi atau
mendamaikan kubu-kubu sebagaimana jaman Orde Baru hal ini ditangani Kantor
Sospol. Ataukah ini justru menjadi preseden buruk intervensi pemerintah
terhadap parpol namun justru persoalan tidak kunjung tuntas?
Dalam UU sebenarnya dimungkinkan jalan
musyawarah jika terjadi sengketa kepengurusan parpol atau keberatan dari
sekurang-kurangnya setengah peserta forum musyawarah partai. Namun apabila
musyawarah tersebut gagal, maka mekanisme gugatan ke pengadilan menjadi pilihan
yang dimungkinkan. Jika memakai mekanisme seperti masa Orde Baru, dengan
intervensi Kantor Sospol, menurut hemat penulis, justru langkah mundur dalam
upaya membangun demokrasi.
Karena visi reformasi politik adalah
kemandirian politik dengan mengurangi intervensi pemerintah terhadap partai
politik. Mendagri selaku bawahan Presiden bukan sebagai atasan partai politik,
namun hanya bersifat pengawasan dengan rambu-rambu yang diatur UU.
Di mana pengawasan yang dimaksud hanya
bersifat administratif maupun laporan keuangan saja, yang prinsip-prinsipnya
telah diatur UU. Selain Mendagri, KPU dan Kementrian Hukum dan HAM juga
melakukan pengawasan. Pemerintah tak berhak melakukan pengawasan atau
intervensi terkait pelaksanaan fungsi dan hak partai politik, karena itu
dijamin oleh UU bahkan UUD 1945. Kecuali suatu partai politik melanggar
prinsip-prinsip Negara seperti Pancasila, NKRI, maupun UUD 1945, pemerintah
dapat mengajukan pembubaran kepada Mahkamah Konstitusi. Jadi, keberadaan Kantor
Sospol tidak diperlukan karena sudah ada peran pengadilan.
Fenomena lain dari perpecahan partai politik
adalah kebingungan pengurus atau kader di bawah dalam menyikapi dan memastikan
yang manakah dari kepengurusan ganda itu yang paling sahih atau sah dalam aspek
tinjauan hukum.
Namun, jika sudah ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht) semua pengurus wilayah ataupun kabupaten
hendaknya menerima dengan legowo dan mendukung pengurus pusat yang telah
disahkan pengadilan. Sebab, sifat partai politik berdasarkan UU itu bersifat
nasional dan dalam kesatuan republik Indonesia, kecuali tentunya parpol lokal
yang hanya berlaku di Aceh berdasar UU Nangroe Aceh Darussalam.
Sekedar dikutip Pasal 1 UU No 2 Tahun 2011 :
“Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Babak
Baru Konflik Golkar: Ical- Agung Terpaksa Islah 25%
Kemenangan Ical di PTUN hanya 15 menit.
Selang beberapa menit sesudah putusan itu, Golkar Agung langsung banding dan
mendaftar ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai tergugat intervensi.
Putusan Hakim Teguh Setya Bhakti, sama sekali tidak menyelesaikan kisruh
Golkar. Sebaliknya putusan itu malah membuat Golkar semakin rumit.
Golkar Ical memang menang di PTUN. Menyambut
kemenangan itu kubu Ical bolehlah bersorak. Namun itu hanya sementara dan lebih
berkesan semu. Ketika mereka mengingat Pilkada yang sudah di depan mata,
kegembiraan itu berubah menjadi kekhawatiran. Mereka khawatir tidak bisa ikut
Pilkada. Kemenangan di PTUN, tidak serta merta membuat Golkar Ical bisa ikut
Pilkada. Alasannya mereka belum mengantongi SK Kemenkumham yang menjadi syarat
ikut Pilkada menurut KPU. Maka tak heran sesaat sesudah putusan PTUN, kubu Ical
langsung meminta kubu Agung dan Menteri Yasonna Laoly agar tidak banding. Kubu
Ical juga mengajak kubu Agung untuk melebur ke dalam kubu Ical.
Namun bagi kubu Agung, kekalahan di PTUN itu
bukanlah kiamat. Masih ada harapan menang di PT TUN dan kasasi di MA. Apalagi
merekalah yang mengantongi SK pengesahan. Ajakan kubu Ical tidak diguris sama
sekali. Namun kenyataannya juga SK Menkumham yang mereka kantongi tidaklah
cukup menjadi tiket untuk ikut Pilkada. KPU sudah mensyaratkan bahwa jika ada
konflik kepengurusan partai, maka KPU menunggu keputusan pengadilan yang sudah
final. Jika belum ada keputusan final, maka partai yang bersengketa harus islah
sebelum batas akhir pendaftaran calon kepala daerah pada akhir Juli mendatang.
Jika tidak bisa islah, maka partai yang bersangkutan terancam tidak bisa ikut
Pilkada.
Tentu saja bagi partai Golkar, baik Golkar
Ical maupun Golkar Agung, Pilkada adalah nyawanya. Hampir 52% kepala daerah
sekarang berasal dari Golkar. Karena itu demi Pilkada yang sangat penting itu,
kedua kubu terpaksa mengusahakan islah secara terbatas. Islah secara total
memang tidak mungkin dan pernah dijajaki sebelumnya dan gagal. Untuk melebur
satu kepengurusan Golkar saat ini jelas sangat sulit ibarat meniti jalan terjal
nan curam. Alasannya karena masing-masing kubu tidak ada yang mau melepas kursi
ketua umum yang sangat empuk itu. Karena itu jalan satu-satunya cara agar bisa
ikut Pilkada adalah islah terbatas . Porsinya kira-kira 25% dengan kalkulasi
50% porsi islah ketua umum, 25% porsi islah kepengurusan. Total porsi islah =
100%. Jadi kalau kedua kubu berhasil islah terkait Pilkada kira-kira porsinya
menurut penulis 25% saja dan itupun belum tentu berhasil.
Ide islah Ical-Agung hanya pada Pilkada saja
memunculkan beberapa tantangan. Tantangan yang pertama adalah kubu mana yang
mau bergabung? Ical sangat bersedia islah dengan Agung, namun kubu Agunglah
yang akan dilebur dalam kepengurusan Ical sesuai dengan putusan PTUN yang
mengacu pada Munas Riau. Sebaliknya Agung juga sangat setuju islah namun kubu
Ical yang mau bergabung dengan kubu Agung karena merekalah yang memegang SK
Menkumham. Ada juga ide Jusuf Kalla. Kedua kubu masing-masing menandatangani
surat persetujuan calan kepala daerah dari Golkar. Namun ide ditentang oleh
kedua kubu karena riskan untuk digugat.
Untuk mengatasi beragam tantangan islah 25%
itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung turun gunung menemui kubu Agung dan
kubu Ical. Dari hasil pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla, nampaknya kedua kubu
sudah mulai melunak dan memberi sinyal untuk masing-masing membuka diri. Ical
sendiri sudah meminta Presiden Jokowi melalui Luhut Pandjaitan agar Jokowi ikut
menyelesaikan kisruh Golkar yang semakin rumit itu. Namun Presiden Jokowi
jauh-jauh hari sudah menegaskan bahwa dia tidak akan ikut mencampuri urusan
parpol.
Pertanyaannya adalah apakah islah 25%
menyangkut Pilkada dapat tercapai? Mengingat kedua kubu tidak ada yang mau
mengalah, maka proses islah terbatas itu tetap menemui jalan terjal. Jika
gagal, maka kedua kubu terancam tidak bisa ikut Pilkada. Jika demikian maka
cerita tentang Golkar bisa dianalogikan dengan cerita dua kancil yang sedang
meniti kayu penyeberangan dan bertemu di tengah-tengah titian kayu.
Masing-masing tidak ada yang mau mundur, malah keduanya maju dan saling
menanduk. Akibatnya dua-duanya jatuh ke sungai di mana buaya di sana sudah siap
untuk melahap keduanya.
Sumber :
http://www.kompasiana.com/edomedia/dualisme-parpol-tinjauan-dari-sisi-hukum_551ffd39813311ea719de10d
Tidak ada komentar:
Posting Komentar