Article kali ini akan membahas sanksi terhadap PSSI, berikut
penjelasannya yang saya ambil
Sanksi Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) kepada Indonesia membuat
nasib sekitar 11.000 pemain sepak bola profesional Indonesia tak menentu.
Kompetisi yang harus berhenti membuat ribuan pemain tak mempunyai penghasilan.
Sebelumnya, FIFA telah memperingatkan Menteri Pemuda dan Olahraga
Imam Nahrawi untuk tidak mengintervensi PSSI. Bahkan, FIFA sampai mengirimkan
surat sampai tiga kali untuk mengingatkan Kemenpora atas tindakannya yang
mencampuri masalah kompetisi hingga sampai membekukan PSSI.
Sayangnya, peringatan-peringatan itu diabaikan oleh Kemenpora, yang
kemudian malah membentuk tim transisi untuk menggantikan tugas PSSI. Permintaan
PSSI agar Surat Keputusan pembekuan dicabut juga tidak diacuhkan Imam Nahrawi.
Sanksi FIFA ini tentu saja amat merugikan sepak bola Indonesia,
karena tidak dapat berpartispasi di laga-laga internasional sampai FIFA
mencabut sanksi mereka. Bukan hanya pemain, pelatih dan wasit juga tak
bisa berkarier di luar negeri.
Parahnya lagi, Indonesia juga tak menerima lagi bantuan dana dan
program dari FIFA selama masa sanksi belum dicabut. Sanksi FIFA sendiri baru
bisa dicabut bila Kemenpora juga tidak lagi membekukan PSSI dan kembali
melakukan intervensi seperti yang tertera dalam Statuta FIFA pasal 13 dan 17
tentang intervensi pihak ketiga dalam hal ini pemerintah terhadap federasi
sepak bola sebuah negara.
Padahal, sebagian besar pemain menggantungkan hidupnya pada
kompetisi sepak bola. Kalau mau dilihat lebih jauh lagi, keluarga para pemain
pun menggantungkan hidup kepada pada roda kompetisi. Dampak sanksi FIFA hingga
penghentian kompetisi membuat nasib puluhan ribu orang juga tak menentu.
Belum lagi jika menghitung
nasib wasit, ofisial, perangkat pertandingan, maupun pihak lain yang
berhubungan dengan kompetisi tersebut. Pemerintah harus melihat bahwa puluhan
ribu orang terdampak dengan berhentinya kompetisi ini. Bola ada di pemerintah
karena pembekuan induk Organisasi Sepak Bola Indonesia (PSSI) dilakukan oleh
pemerintah.
Artinya, pemerintah dalam
hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) harus mempunyai solusi bagi
puluhan ribu orang tersebut. Memang mereka berjanji akan membuat kompetisi yang
lebih baik dari kompetisi sebelumnya. Tapi, itu membutuhkan waktu yang panjang,
sedangkan hidup puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut tidak bisa
menunggu waktu yang panjang.
Pun dengan janji Kemenpora
menggelar kompetisi Piala Kemerdekaan itu belum menjadi solusi konkret dan permanen
untuk menjamin puluhan ribu individu yang terdampak. Jika janji menggelar
kompetisi lebih baik itu adalah solusi jalan panjang yang masih membutuhkan
proses panjang.
Padahal, puluhan ribu orang
terdampak sanksi FIFA tersebut butuh solusi jangka pendek yang cepat. Apakah
pemerintah cukup mengatakan, seluruh pemain harus bersabar dan menunggu
kompetisi yang dijanjikan akan bergulir. Tentu tidak. Hal lain yang pantas
dicermati, apakah kompetisi yang dijanjikan pemerintah nanti bisa menjamin posisi
para pemain lebih baik? Selama ini, harus diakui, dalam kompetisi-kompetisi
sebelumnya para pemain hanya menjadi objek dari gelaran sepak bola di Tanah
Air. Mereka seolah menjadi objek dari klub maupun penyelenggara kompetisi untuk
meraup untung baik materi maupun nonmateri. Padahal, layaknya sebuah kompetisi
profesional, pemain adalah subjek, bukan objek.
Kita lihat bagaimana
petinju profesional Mayweather Junior ataupun Manny Pacquiao bisa menjadi
subjek dalam megaduel beberapa waktu lalu. Mereka bisa menentukan mau
bertanding atau tidak, dari nama keduanya pun bisa mengalir uang triliunan
rupiah serta mereka pun mendapatkan bayaran yang fantastis. Begitu juga dengan
para pemain sepak bola profesional di negeri Eropa.
Betapa mereka dihargai
dengan baik. Tak hanya materi yang berlimpah, tapi juga nonmateri yang cukup
bagus oleh klub maupun federasi. Karena klub dan federasi sadar, kompetisi
menjadi menarik karena ada pemain sepak bola. Para pemain bisa mendapat
”cipratan” uang sponsor, uang hak siar, bahkan hasil dari penjualan
merchandise.
Kontrak mereka dibuat
setara di mata hukum dengan klub. Jika klub bermasalah, pemain siap menggugat.
Para pemain Italia pernah mengancam tidak bermain terkait hak siar, begitu juga
dengan para pemain Spanyol pernah melakukan hal yang sama. Beberapa tahun yang
lalu para pemain liga basket Amerika Serikat (AS) NBA bahkan mampu membuat
molor kompetisi karena hakhak mereka tidak dipenuhi.
Nah, di Indonesia, apakah
para pemain sudah diberlakukan dengan baik seperti di atas? Belum. Gaji pemain
yang telat, bahkan tidak dibayar oleh klub masih menjadi problem mendasar pada
kompetisi sebelumnya. Lalu, pemerintah pascasanksi FIFA menjanjikan kompetisi
yang lebih baik. Pertanyaannya, apakah kompetisi itu nanti juga mampu
memosisikan pemain sebagai subjek sehingga hak-hak mereka bisa dijamin dengan
baik?
Jika dalam kompetisi
bentukan pemerintah nanti juga tidak bisa menjamin hak-hak pemain, apakah
kompetisi tersebut dikatakan lebih baik? Tentu tidak. Intinya, dalam kompetisi
sepak bola pemain adalah subjek. Solusi jangka pendek dan panjang yang harus
segera dibuat pemerintah mesti tetap mengacu bahwa pemain sepak bola Indonesia
harus menjadi subjek, bukan sebagai objek lagi.
Sanksi FIFA:
Sanksi FIFA terhadap Indonesia mempunyai implikasi yang sangat
luas. Beberapa konsekuensi dari sanksi FIFA adalah bahwa PSSI kehilangan
hak-haknya sebagai anggota FIFA, seperti tertera dalam statuta FIFA
pasal 12 ayat 1. Selain itu, semua tim sepakbola Indonesia, baik tim Nasional
maupun klub-klubnya dilarang berhubungan keolahragaan dengan anggota
FIFA yang lain termasuk AFC (Konfederasi Sepakbola Asia). Juga termasuk
larangan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan oleh FIFA dan
AFC, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14 ayat 3. Aspek lain adalah bahwa
PSSI dan para offisialnya tidak akan memperoleh hak terkait program-program
pengembangan FIFA, serta pelatihan-pelatihan selama masa berlakunya sanksi.
Kalau ditelaah secara mendalam, makna dari sanksi FIFA terhadap
Indonesia sangat besar dan luas. Artinya, kerugian yang kita alami sangat
besar. Kehilangan hak untuk mengikuti pertandingan internasional berarti
peluang pemain-pemain kita baik klub maupun tim Nasional untuk
meningkatkan kualitas sudah tidak ada lagi. Kompetisilah yang membuat para
pemain sepakbola menjadi lebih berkualitas. Dengan bertanding melawan tim-tim
dan klub-klub bermutu akan banyak pelajaran yang diperoleh para pemain kita.
Kerugian dalam aspek bisnis juga sangat besar. Apalagi dengan
dibekukannya PSSI maka dana sponsor tidak akan mengalir. Sementara dana bantuan
pengembangan sepakbola FIFA otomatis akan distop. Kerugian ini mempunyai efek
berantai, mulai dari pemain, klub, karyawan klub, pengelola dan karyawan
lapangan, wasit dan juru garis, bahkan sampai penjaja makanan yang selalu siap
saat pertandingan sepakbola berlangsung. Bagaimana dengan sponsor? Jelas dana
akan disalurkan ke sektor lain. Tentu saja sponsor juga akan rugi dengan
kondisi seperti ini. Alhasil, tidak ada yang untung.
Mau ke
mana?:
Aspek lain yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah reaksi
pemerintah Indonesia (baca :Presiden Jokowi) terhadap sanksi FIFA. Jokowi
mengatakan bahwa sanksi FIFA harus disikapi dengan positif. Dalam kaitan
ini, Jokowi mengatakan bahwa pembenahan total dalam tubuh PSSI merupakan
keinginan pemerintah. Artinya , reformasi total, pembenahan organisasi,
pembenahan sistem, dan pembenahan manajemen.
Di bagian
lain dalam penjelasannya, Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah ingin
sepakbola Indonesia menjadi lebih baik dengan berprestasi. Selama ini tim
sepakbola kita kalah lagi, kalah lagi, yang artinya tidak memiliki prestasi.
Walau begitu, pernyataan Jokowi masih bisa diperdebatkan karena kita pernah
punya prestasi. Hanya saja akhir-akhir ini, tim Nasional sepakbola kita sudah
jarang menjadi juara pertama. Padahal dalam sepakbola, kita tidak bisa melihat
hanya hitam putih. Tiap kompetisi selalu mempunyai konteks yang berbeda, karena
sifatnya yang berbeda dan lawannya yang juga berbeda.
Jokowi juga menyebutkan bahwa kita harus memilih antara main
di Internasional atau prestasi Internasional. Pernyataan Jokowi ini seperti
pedang bermata dua-bisa ‘membunuh lawan’ atau ‘membunuh diri sendiri’. Kalau
kita pakai logika tersebut, berarti kita harus siap-siap untuk mengundurkan
diri dari setiap cabang olahraga Internasional jika kita tidak punya prestasi.
Ini bisa dikuliti satu persatu. Mulai saja dengan badminton yang puluhan tahun
lalu kita mendominasi Dunia, sekarang praktis dikuasai oleh Tiongkok. Bagaimana
dengan bola volley, atletik, dan bola basket? Apalagi renang kita yang jalan di
tempat kalau memakai logika Jokowi,-berarti kita harus keluar dari FINA?.
Kembali
kepada sepakbola kita, FIFA akan mencabut sanksinya dan memulihkan keanggotaan
Indonesia apabila dipenuhi empat syarat yang utamanyaadalah bahwa urusan
sepakbola dikelola secara independen oleh PSSI. Jangan lupa bahwa tata tertib
pada setiap organisasi olahraga Internasional sangat jelas. FINA tidak segan
untuk menjatuhkan skorsing kepada Phelps walau ia adalah juara Dunia.
Organisasi atletik Internasional, IAAF, sudah sering menjatuhkan skorsing
kepada atlet-atlet tingkat Dunia yang melanggar peraturan.
Dalam soal sepakbola Indonesia yang konon tim transisi akan
mengadakan kongres Luar Biasa jelas ini salah kaprah jika sampai dilaksanakan.
Kalau kita tidak dalam FIFA, apakah kita mau bergabung dengan organisasi
sepakbola non-FIFA yang disebut VIVA? Organisasi ini antara lain anggotanya
adalah provinsi Basque, Spanyol dan Siprus Utara. Dulu Gibraltar dan kepulauan
Faroe adalah anggota VIVA, belakangan menjadi anggota FIFA. Padahal
negara-negara kecil saja seperti San Marino, Andorra, dan Lichtenstein adalah
anggota FIFA, seperti halnya negara-negara kecil di Pasifik dan Karibia.
Apakah Indonesia mau mundur dengan tidak menjadi anggota FIFA? Pertanyaan ini harus dijawab secepatnya sebelum makin
besarnya kerugian yang kita hadapi dari segi ekonomi, bisnis, psikologi, dan
sosiologi. Satu-satunya jawaban adalah mengembalikan wewenang sepakbola kepada
PSSI. Tentu disyaratkan agar PSSI memiliki komitmen penuh dalam melakukan
revitalisasi dalam tubuh PSSI untuk meningkatkan prestasi sepakbola secara
bertahap namun pasti.
Ini lima
poin putusan sanksi komdis AFC untuk PSSI:
1.
Berdasarkan Pasal 76 Kode Disiplin AFC (Kode), PSSI
diperintahkan untuk membayar denda sebesar 20 ribu dollar US/-karena melanggar
Pasal 67 Kode Disiplin, dalam dua kesempatan.
2.
Hal itu harus diselesaikan dalam waktu 30 hari sejak tanggal
keputusan ini, serta dikomunikasikan sesuai dengan Pasal 15.3 dari Kode
Disiplin.
3.
Berdasarkan Pasal 33.5 Kode Disiplin, suspensi dari sanksi
keputusan 031214DC04 secara otomatis dicabut dan diterapkan. Oleh karena itu,
sesuai dengan Pasal 24 Kode Disiplin, PSSI diperintahkan untuk menggelar satu
pertandingan tanpa penonton. Perintah ini berlaku untuk pertandingan berikutnya
di kompetisi AFC yang diselenggarakan PSSI dengan melibatkan tim nasional pria
level A.
4.
Berdasarkan Pasal 76 Kode Disiplin, memerintahkan PSSI untuk
menggelar satu laga di tempat netral. Perintah ini berlaku untuk pertandingan
berikutnya di kompetisi AFC yang diselenggarakan oleh PSSI melibatkan tim
nasional pria level A. Perintah tersebut akan berlaku setelah pelaksanaan semua
perintah untuk memainkan pertandingan tanpa penonton diterbitkan kepada PSSI.
5.
Perlu diinformasikan apabila pelanggaran ini kembali
terulang, akan dijatuhi hukuman yang lebih berat.
Ini
8 Kerugian Indonesia Akibat Sanksi FIFA .
Berikut
daftar kerugian yang dialami Indonesia usai kena sanksi FIFA:
1.
Indonesia tidakdapat mengikuti turnamen internasional baik
timnas maupun klub, bisa sepanjang satu tahun atau dua tahun, tergantung
keputusan Exco FIFA.
2.
Tidak ada kompetisi lokal yang diakui oleh FIFA. Otomatis
sang juara kompetisi hanya jago kandang dan tidak teruji di tingkat
internasional.
3.
Sanksi FIFA tersebut secara tidak langsung mengebiri
bakat-bakat pemain sepakbola muda Indonesia yang biasanya mampu berbicara
banyak di turnamen internasional untuk usia dini.
4.
Sanksi FIFA tidak cuma berimbas di level klub/timnas, tapi
juga menimpa level grassroot, kepelatihan, dan perwasitan. Renegerasi
perwasitan Indonesia untuk level internasional pun bisa terganggu.
5.
Kerugian bagi industri media, tidak bisa menyiarkan,
mengabarkan, atau memberitakan pertandingan klub maupun Timnas Indonesia,
karena sanksi larangan bermain di turnamen internasional pada level usia
berapapun. Situasi ini berimbas pada minimnya sponsor.
6.
Suporter tak akan lagi bisa mendukung Timnas Indonesia di
ajang seperti, Asian Games, Pra Olimpiade, Kualifikasi Piala Asia, Kualifikasi
Piala Dunia, Piala AFF, dan lain-lain selama sanksi FIFA masih
berlaku.
7.
Klub-klub besar dunia
akan mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke Indonesia selama sanksi FIFA
masih berlaku.
8.
PSSI dan ofisialnya
tidak memperoleh hak terkait program-program pengembangan FIFA, dan juga
pelatihan-pelatihan, selama masa hukuman.
Kerugian-kerugian ini tentu bisa semakin membuat lesu persepakbolaan Indonesia, mengingat tak adanya target di level internasional. Sanksi akan dicabut jika persyaratan yang dikeluarkan FIFA benar-benar bisa terpenuhi.
Kerugian-kerugian ini tentu bisa semakin membuat lesu persepakbolaan Indonesia, mengingat tak adanya target di level internasional. Sanksi akan dicabut jika persyaratan yang dikeluarkan FIFA benar-benar bisa terpenuhi.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar