Kamis, 11 Juni 2015

Heboh Beras Plastik (tinjauan dari perlindungan hak asasi rakyat)



Masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan pemberitaan beras plastik yang diduga berasal dari Tiongkok. Beras plastik pada dasarnya adalah beras yang dioplos dengan beras sintetis yang terbuat dari plastik.
Isu beras plastik ini wajar membuat masyarakat kuatir mengingat nasi adalah makanan pokok masyarakat Indonesia. Setidaknya dengan terkuaknya beras plastik ini seharusnya membuat masyarakat lebih jeli lagi dalam membeli beras. Jika Anda terlanjur memiliki stok beras dalam jumlah banyak di rumah tidak ada salahnya segera diperiksa.
Untuk membedakan beras asli dan beras plastik memang harus teliti, karena sekilas keduanya sama saja. Sebaiknya masyarakat mengenali ciri beras sintetis ini agar terhindar membeli dan mengonsumsi beras plastik.
Informasi mengenai beras sintetis mencuat setelah salah seorang penjual bubur di Bekasi, Dewi Septiani, mengaku membeli beras bersintetis. Dewi mengaku membeli enam liter beras yang diduga bercampur dengan beras plastik. Beras tersebut dia beli di salah satu toko langganannya.
Hasil uji laboratorium yang dilakukan Sucofindo membuktikan kebenaran beras plastik, namun hal ini berbeda dengan Penelitian Puslabfor Mabes Polri yang menyebut tidak ada bahan plastik pada sampel beras yang sebelumnya disebut-sebut mengandung beras sintetis. Hal ini akhirnya berbuntut dengan dipolisikannya Dewi Septiani, pelapor beras plastik.
Tindakan aparat ini disayangkan berbagai pihak, salahsatunya disuarakan oleh Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM).
PAHAM sebut jangan sampai temuan tersebut membuat pelapor Dewi Septiani trauma, apalagi sampai merasa menerima intimidasi dari aparat.
“Bila hal ini terjadi, orang akan cenderung abai dan tidak mau melapor apabila melihat sebuah kejahatan,” tegas Sekjend Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari, dalam siaran persnya (Kamis,28/5).
Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu Dewi adalah tindakan konsumen yang baik. Itu adalah upaya preventif untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya buruk bahan makanan yang diduga dari platik. Oleh karenanya, langkah waspada yang demikian harus dicontoh oleh anggota masyarakatlainnya.
“Bahwa yang dilakukan oleh Dewi Septiani adalah early warning, yang seharunya merupakan kewajiban apparat terkait untuk menindaklanjuti,” ungkapnya.
PAHAM menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan. Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan. “Namun secara umum, hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan, ”terang kandidat Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Karena itu PAHAM mendorong agar Kapolri memberikan penghargaan kepada Dewi Septiani dan memberikan sanksi kepada oknum yang diduga mengintimidasi.
“Saya rasa layak Pak Badrodin Haiti memberikan penghargaan kepada Bu Dewi. Karena sebagai warga negara yang baik telah memberikan laporan sebagai bentuk kewaspadaan sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Hal ini untuk merangsang agar masyarakat peduli dengan persoalan hukum yang ada di sekitarnya. Disisi lain, apabila memang terbukti ada oknum aparat yang melakukan intimidasi selayaknya pula Kapolri berikan teguran atau sanksi”, tegasnya.

Berikut ciri-ciri antara beras plastik dan beras asli :
Bentuk              
Beras sintetis memiliki bentuk yang lebih mulus dan bagus dibanding beras asli yang terkadang terlihat pecah-pecah dan gompal.
Bila dilihat dari ujung-ujung bulir beras, pada beras asli terdapat warna putih di setiap ujungnya yang merupakan zat kapur yang mengandung karbohidrat. Sedang beras bercampur plastik tidak ada warna putihnya.
Jika direndam di dalam air, maka beras asli airnya akan bewarna putih dan beras akan lembek menjadi bubur. Sedangkan beras plastik jika direndam hasilnya tidak akan menyatu dan airnya tidak akan berubah menjadi putih dan di ujung-ujungnya tidak ada warna putih zat kapur.
Ciri lainnya adalah jika beras plastik ditaruh di atas kertas maka terlihat beras tidak natural, berbentuk lengkung, tidak ada patahan. Kalau dipatahkan akan pecah menjadi bentuk kecil-kecil. Sedangkan beras asli bentuk bulirnya sedikit menggembung dan kalau dipatahkan hanya terbelah menjadi dua.
Warna
Beras sintetis memiliki warna yang lebih bening bersih, hampir mirip dengan kaca. Sedangkan
beras asli umumnya memiliki warna putih susu, tidak terlalu putih dan tidak terlalu kekuningan.
Tekstur
Tekstur beras sintetis lebih keras daripada beras asli. Beras yang asli kalau digigit bulirnya cenderung mudah patah.
Tampilan beras asli memiliki guratan dari bekas sekam padi, sedangkan beras plastik bentuknya agak lonjong dan pada bulirnya tidak terlihat guratan.
Nasi Matang
Selain itu beras plastik ini juga bisa dibedakan dari nasi yang sudah matang. Menurut Chef Nurman dari Hotel Discovery Sky Ancol, nasi yang dihasilkan dari beras asli akan terasa berbeda dengan nasi yang dihasilkan dari beras plastik.
Menurut Chef Nurman, saat diolah, beras sintetis yang terbuat dari beras plastik akan lebih sulit menjadi kering dan tidak bisa bercampur. "Beras sintetis kalau dimasak tidak bisa bercampur seperti beras asli dan sulit kering,” katanya.
Nasi yang dihasilkan juga memiliki rasa dan tekstur yang berbeda. “Nasi dari beras sintetis akan terasa seperti rasa plastik sedangkan nasi asli akan memiliki rasa tawar dan sedikit manis,” jelas Chef Nurman sebagaimana dikutip dari portal Okezone.com. Dengan informasi tentang ciri-ciri beras plastik ini diharapkan masyarakat tidak salah lagi dalam memilih beras yang asli, karena cara mengenali dan membedakannya mudah asalkan kita teliti.

Mari kita pelajari bagaimana cara membedakannya:
Cek beras sebelum di konsumsi
Menurut seorang penjual beras, beras putih plastik kalau dicium enggak wangi beras. Tapi, yang beras asli pasti wangi beras, wangi padi. Ketika ditunjukkan contoh beras asli dengan mengambil beras segenggam, secara bentuk dan kasatmata, warna beras putih tidak sepenuhnya putih, tetapi ada beberapa bagian beras yang berwarna sedikit berwarna coklat muda.
Jika dipegang pun, beras plastik akan lebih licin dibanding beras asli. Cara lain untuk menguji keaslian beras adalah dengan dibakar. Beras plastik akan cepat terbakar jika dikenai api. Berbeda dengan beras asli yang tidak terbakar, tetapi muncul wangi beras yang keluar karena beras terkena api.
            “Paling tidak ada empat  cara sederhana untuk mengenali beras plastik,” kata Asmo.
Pertama, dari bentuknya, tampilan beras asli memiliki guratan dari bekas sekam padi, sedangkan beras plastik tidak terlihat guratan pada bulirnya dan bentuknya agak lonjong.
Kedua, dari ujung-ujung bulir beras, pada beras asli terdapat warna putih di setiap ujungnya, warna tersebut merupakan zat kapur yang mengandung karbohidrat. Sedang beras bercampur plastik tidak ada warna putihnya.
Ketiga, jika beras asli direndam dalam air maka akan berubah warna menjadi lebih putih, sedangkan beras plastik hasilnya tidak akan menyatu dan airnya tidak akan berubah menjadi putih.
Keempat, jika beras palsu ditaruh di atas kertas maka terlihat beras tidak natural, berbentuk lengkung, tidak ada patahan.
“Kalau dipatahkan akan pecah menjadi bentuk kecil-kecil. Sementara beras asli bentuk bulirnya sedikit menggembung dan kalau dipatahkan hanya terbelah menjadi dua,” jelas Asmo.

Apa dampak jangka pendek dan jangka panjang bila sampai masuk ke tubuh manusia?
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PT. Succofindo terhadap beras plastik yang ditemukan di Bekasi, Jawa Barat, menunjukkan adanya kandungan polyvinyl cholride (PVC) yang biasa terdapat di pipa, kabel, dan lantai.
Ditambah lagi, beras tersebut juga mengandung tiga senyawa lain, yakni benzyl butyl phthalate (BBP), bis 2-ethylhexyl phtalate (DEHP), dan diisononyl phthalate (DINP). Ketiga zat ini biasa dipakai sebagai pelentur pada pipa dan kabel.
Sangat mengerikan bila zat-zat kimia tersebut sampai masuk ke dalam tubuh manusia. Akibat bila ketiga zat kimia tersebut masuk ke dalam tubuh, maka bisa memicu mutasi genetik, meracuni saraf, dan menyebabkan kanker.
Dalam jangka pendek, keberadaan plastik di saluran pencernaan bisa mengakibatkan sembelit atau diare. Sementara itu, dalam jangka panjang, plastik tidak bisa dikeluarkan melalui kotoran dan akan memicu perubahan sel.
Ditambahkan oleh seorang dokter spesialis penyakit dalam, konsultan gastroenterologi dr. Ari Fahrial Syam, yang mengatakan phtalate (DEHP) juga bisa menyebabkan kemandulan pada pria.
“Sementara pada wanita zat ini juga mengganggu sistem reproduksi sehingga bisa menyebabkan gangguan menstruasi. Bahkan pada suatu penelitian disebutkan kadar zat ini yang tinggi pada ibu melahirkan ternyata bayinya akan memiliki skrotum dan penis yang kecil,” katanya.
Ari menambahkan, hal tersebut menunjukkan bahwa phtalate bisa menembus plasenta sehingga berbahaya jika dikonsumsi ibu hamil.

Bagaimana cara meminimalisir efek-efek tersebut?
Untuk mengurangi efek samping berbahaya tersebut, sangat disarankan untuk mengonsumsi banyak buah dan sayur-sayuran yang mengandung banyak vitamin, mineral, dan antioksidan.

Sumber:

Rabu, 10 Juni 2015

Sanksi FIFA terhadap PSSI (tinjauan dari sisi Hak pemain dan penonton sepak bola)



Article kali ini akan membahas sanksi terhadap PSSI, berikut penjelasannya yang saya ambil 
Sanksi Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) kepada Indonesia membuat nasib sekitar 11.000 pemain sepak bola profesional Indonesia tak menentu. Kompetisi yang harus berhenti membuat ribuan pemain tak mempunyai penghasilan.
Sebelumnya, FIFA telah memperingatkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi untuk tidak mengintervensi PSSI. Bahkan, FIFA sampai mengirimkan surat sampai tiga kali untuk mengingatkan Kemenpora atas tindakannya yang mencampuri masalah kompetisi hingga sampai membekukan PSSI.
Sayangnya, peringatan-peringatan itu diabaikan oleh Kemenpora, yang kemudian malah membentuk tim transisi untuk menggantikan tugas PSSI. Permintaan PSSI agar Surat Keputusan pembekuan dicabut juga tidak diacuhkan Imam Nahrawi.
Sanksi FIFA ini tentu saja amat merugikan sepak bola Indonesia, karena tidak dapat berpartispasi di laga-laga internasional sampai FIFA mencabut sanksi mereka.  Bukan hanya pemain, pelatih dan wasit juga tak bisa berkarier di luar negeri.
Parahnya lagi, Indonesia juga tak menerima lagi bantuan dana dan program dari FIFA selama masa sanksi belum dicabut. Sanksi FIFA sendiri baru bisa dicabut bila Kemenpora juga tidak lagi membekukan PSSI dan kembali melakukan intervensi seperti yang tertera dalam Statuta FIFA pasal 13 dan 17 tentang intervensi pihak ketiga dalam hal ini pemerintah terhadap federasi sepak bola sebuah negara.
Padahal, sebagian besar pemain menggantungkan hidupnya pada kompetisi sepak bola. Kalau mau dilihat lebih jauh lagi, keluarga para pemain pun menggantungkan hidup kepada pada roda kompetisi. Dampak sanksi FIFA hingga penghentian kompetisi membuat nasib puluhan ribu orang juga tak menentu.
Belum lagi jika menghitung nasib wasit, ofisial, perangkat pertandingan, maupun pihak lain yang berhubungan dengan kompetisi tersebut. Pemerintah harus melihat bahwa puluhan ribu orang terdampak dengan berhentinya kompetisi ini. Bola ada di pemerintah karena pembekuan induk Organisasi Sepak Bola Indonesia (PSSI) dilakukan oleh pemerintah.
Artinya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) harus mempunyai solusi bagi puluhan ribu orang tersebut. Memang mereka berjanji akan membuat kompetisi yang lebih baik dari kompetisi sebelumnya. Tapi, itu membutuhkan waktu yang panjang, sedangkan hidup puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut tidak bisa menunggu waktu yang panjang.
Pun dengan janji Kemenpora menggelar kompetisi Piala Kemerdekaan itu belum menjadi solusi konkret dan permanen untuk menjamin puluhan ribu individu yang terdampak. Jika janji menggelar kompetisi lebih baik itu adalah solusi jalan panjang yang masih membutuhkan proses panjang.
Padahal, puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut butuh solusi jangka pendek yang cepat. Apakah pemerintah cukup mengatakan, seluruh pemain harus bersabar dan menunggu kompetisi yang dijanjikan akan bergulir. Tentu tidak. Hal lain yang pantas dicermati, apakah kompetisi yang dijanjikan pemerintah nanti bisa menjamin posisi para pemain lebih baik? Selama ini, harus diakui, dalam kompetisi-kompetisi sebelumnya para pemain hanya menjadi objek dari gelaran sepak bola di Tanah Air. Mereka seolah menjadi objek dari klub maupun penyelenggara kompetisi untuk meraup untung baik materi maupun nonmateri. Padahal, layaknya sebuah kompetisi profesional, pemain adalah subjek, bukan objek.
Kita lihat bagaimana petinju profesional Mayweather Junior ataupun Manny Pacquiao bisa menjadi subjek dalam megaduel beberapa waktu lalu. Mereka bisa menentukan mau bertanding atau tidak, dari nama keduanya pun bisa mengalir uang triliunan rupiah serta mereka pun mendapatkan bayaran yang fantastis. Begitu juga dengan para pemain sepak bola profesional di negeri Eropa.
Betapa mereka dihargai dengan baik. Tak hanya materi yang berlimpah, tapi juga nonmateri yang cukup bagus oleh klub maupun federasi. Karena klub dan federasi sadar, kompetisi menjadi menarik karena ada pemain sepak bola. Para pemain bisa mendapat ”cipratan” uang sponsor, uang hak siar, bahkan hasil dari penjualan merchandise.
Kontrak mereka dibuat setara di mata hukum dengan klub. Jika klub bermasalah, pemain siap menggugat. Para pemain Italia pernah mengancam tidak bermain terkait hak siar, begitu juga dengan para pemain Spanyol pernah melakukan hal yang sama. Beberapa tahun yang lalu para pemain liga basket Amerika Serikat (AS) NBA bahkan mampu membuat molor kompetisi karena hakhak mereka tidak dipenuhi.
Nah, di Indonesia, apakah para pemain sudah diberlakukan dengan baik seperti di atas? Belum. Gaji pemain yang telat, bahkan tidak dibayar oleh klub masih menjadi problem mendasar pada kompetisi sebelumnya. Lalu, pemerintah pascasanksi FIFA menjanjikan kompetisi yang lebih baik. Pertanyaannya, apakah kompetisi itu nanti juga mampu memosisikan pemain sebagai subjek sehingga hak-hak mereka bisa dijamin dengan baik?
Jika dalam kompetisi bentukan pemerintah nanti juga tidak bisa menjamin hak-hak pemain, apakah kompetisi tersebut dikatakan lebih baik? Tentu tidak. Intinya, dalam kompetisi sepak bola pemain adalah subjek. Solusi jangka pendek dan panjang yang harus segera dibuat pemerintah mesti tetap mengacu bahwa pemain sepak bola Indonesia harus menjadi subjek, bukan sebagai objek lagi.

Sanksi FIFA:
Sanksi FIFA terhadap Indonesia mempunyai implikasi yang sangat luas. Beberapa konsekuensi dari  sanksi FIFA adalah bahwa PSSI kehilangan hak-haknya sebagai anggota FIFA, seperti tertera dalam  statuta FIFA  pasal 12 ayat 1.  Selain itu, semua tim sepakbola Indonesia, baik tim Nasional maupun klub-klubnya dilarang berhubungan keolahragaan  dengan anggota FIFA  yang lain termasuk AFC (Konfederasi Sepakbola Asia). Juga termasuk larangan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan oleh FIFA dan AFC, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14 ayat 3. Aspek lain adalah bahwa PSSI dan para offisialnya tidak akan memperoleh hak terkait program-program pengembangan FIFA, serta pelatihan-pelatihan selama masa berlakunya sanksi.
Kalau ditelaah secara mendalam, makna dari sanksi FIFA terhadap Indonesia sangat besar dan luas. Artinya, kerugian yang kita alami sangat besar. Kehilangan hak untuk mengikuti pertandingan internasional berarti peluang pemain-pemain kita baik klub maupun tim Nasional untuk  meningkatkan kualitas sudah tidak ada lagi. Kompetisilah yang membuat para pemain sepakbola menjadi lebih berkualitas. Dengan bertanding melawan tim-tim dan klub-klub bermutu akan banyak pelajaran yang diperoleh para pemain kita.
Kerugian dalam aspek bisnis juga sangat besar. Apalagi dengan dibekukannya PSSI maka dana sponsor tidak akan mengalir. Sementara dana bantuan pengembangan sepakbola FIFA otomatis akan distop. Kerugian ini mempunyai efek berantai, mulai dari pemain, klub, karyawan klub, pengelola dan karyawan lapangan, wasit dan juru garis, bahkan sampai penjaja makanan yang selalu siap saat pertandingan sepakbola berlangsung. Bagaimana dengan sponsor? Jelas dana akan disalurkan ke sektor lain. Tentu saja sponsor juga akan rugi dengan kondisi seperti ini. Alhasil, tidak ada yang untung.
Mau ke mana?:
Aspek lain yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah reaksi pemerintah Indonesia (baca :Presiden Jokowi) terhadap sanksi FIFA. Jokowi mengatakan bahwa  sanksi FIFA harus disikapi dengan positif. Dalam kaitan ini, Jokowi mengatakan bahwa pembenahan total dalam tubuh PSSI merupakan keinginan pemerintah. Artinya , reformasi total,  pembenahan organisasi, pembenahan sistem,  dan pembenahan manajemen.
Di bagian lain dalam penjelasannya, Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah ingin  sepakbola Indonesia menjadi lebih baik dengan berprestasi. Selama ini tim sepakbola kita kalah lagi, kalah lagi, yang artinya tidak memiliki prestasi. Walau begitu, pernyataan Jokowi masih bisa diperdebatkan karena kita pernah punya prestasi. Hanya saja akhir-akhir ini, tim Nasional sepakbola kita sudah jarang menjadi juara pertama. Padahal dalam sepakbola, kita tidak bisa melihat hanya hitam putih. Tiap kompetisi selalu mempunyai konteks yang berbeda, karena sifatnya yang berbeda dan lawannya yang juga berbeda.
Jokowi juga menyebutkan  bahwa kita harus memilih antara main di Internasional atau prestasi Internasional. Pernyataan Jokowi ini seperti pedang bermata dua-bisa ‘membunuh lawan’ atau ‘membunuh diri sendiri’. Kalau kita pakai logika tersebut, berarti kita harus siap-siap untuk mengundurkan diri dari setiap cabang olahraga Internasional jika kita tidak punya prestasi. Ini bisa dikuliti satu persatu. Mulai saja dengan badminton yang puluhan tahun lalu kita mendominasi Dunia, sekarang praktis dikuasai oleh Tiongkok. Bagaimana dengan bola volley, atletik, dan bola basket? Apalagi renang kita yang jalan di tempat kalau memakai logika Jokowi,-berarti kita harus keluar dari FINA?.
Kembali kepada sepakbola kita, FIFA akan mencabut sanksinya dan memulihkan keanggotaan Indonesia apabila dipenuhi empat syarat yang utamanyaadalah bahwa urusan sepakbola dikelola secara independen oleh PSSI. Jangan lupa bahwa tata tertib pada setiap organisasi olahraga Internasional sangat jelas. FINA tidak segan untuk menjatuhkan skorsing kepada Phelps walau ia adalah juara Dunia. Organisasi atletik Internasional, IAAF, sudah sering menjatuhkan skorsing kepada atlet-atlet tingkat Dunia yang melanggar peraturan.
Dalam soal sepakbola Indonesia yang konon tim transisi akan mengadakan kongres Luar Biasa jelas ini salah kaprah jika sampai dilaksanakan. Kalau kita tidak dalam FIFA, apakah kita mau bergabung dengan organisasi sepakbola non-FIFA yang disebut VIVA? Organisasi ini antara lain anggotanya adalah provinsi Basque, Spanyol dan Siprus Utara. Dulu Gibraltar dan kepulauan Faroe adalah anggota VIVA, belakangan menjadi anggota FIFA. Padahal negara-negara kecil saja seperti San Marino, Andorra, dan Lichtenstein adalah anggota FIFA, seperti halnya negara-negara kecil di Pasifik dan Karibia.  Apakah Indonesia mau mundur dengan tidak menjadi anggota FIFA? Pertanyaan  ini harus dijawab secepatnya sebelum makin besarnya kerugian yang kita hadapi dari segi ekonomi, bisnis, psikologi, dan sosiologi. Satu-satunya jawaban adalah mengembalikan wewenang sepakbola kepada PSSI. Tentu disyaratkan agar PSSI memiliki komitmen penuh dalam melakukan revitalisasi dalam tubuh PSSI untuk meningkatkan prestasi sepakbola secara bertahap namun pasti.

Ini lima poin putusan sanksi komdis AFC untuk PSSI:
1.    Berdasarkan Pasal 76 Kode Disiplin AFC (Kode), PSSI diperintahkan untuk membayar denda sebesar 20 ribu dollar US/-karena melanggar Pasal 67 Kode Disiplin, dalam dua kesempatan.
2.    Hal itu harus diselesaikan dalam waktu 30 hari sejak tanggal keputusan ini, serta dikomunikasikan sesuai dengan Pasal 15.3 dari Kode Disiplin.
3.    Berdasarkan Pasal 33.5 Kode Disiplin, suspensi dari sanksi keputusan 031214DC04 secara otomatis dicabut dan diterapkan. Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 24 Kode Disiplin, PSSI diperintahkan untuk menggelar satu pertandingan tanpa penonton. Perintah ini berlaku untuk pertandingan berikutnya di kompetisi AFC yang diselenggarakan PSSI dengan melibatkan tim nasional pria level A.
4.    Berdasarkan Pasal 76 Kode Disiplin, memerintahkan PSSI untuk menggelar satu laga di tempat netral. Perintah ini berlaku untuk pertandingan berikutnya di kompetisi AFC yang diselenggarakan oleh PSSI melibatkan tim nasional pria level A. Perintah tersebut akan berlaku setelah pelaksanaan semua perintah untuk memainkan pertandingan tanpa penonton diterbitkan kepada PSSI.
5.    Perlu diinformasikan apabila pelanggaran ini kembali terulang, akan dijatuhi hukuman yang lebih berat.

Ini 8 Kerugian Indonesia Akibat Sanksi FIFA .
Berikut daftar kerugian yang dialami Indonesia usai kena sanksi FIFA:
1.      Indonesia tidakdapat mengikuti turnamen internasional baik timnas maupun klub, bisa sepanjang satu tahun atau dua tahun, tergantung keputusan Exco FIFA.
2.      Tidak ada kompetisi lokal yang diakui oleh FIFA. Otomatis sang juara kompetisi hanya jago kandang dan tidak teruji di tingkat internasional.
3.      Sanksi FIFA tersebut secara tidak langsung mengebiri bakat-bakat pemain sepakbola muda Indonesia yang biasanya mampu berbicara banyak di turnamen internasional untuk usia dini.
4.      Sanksi FIFA tidak cuma berimbas di level klub/timnas, tapi juga menimpa level grassroot, kepelatihan, dan perwasitan. Renegerasi perwasitan Indonesia untuk level internasional pun bisa terganggu.
5.      Kerugian bagi industri media, tidak bisa menyiarkan, mengabarkan, atau memberitakan pertandingan klub maupun Timnas Indonesia, karena sanksi larangan bermain di turnamen internasional pada level usia berapapun. Situasi ini berimbas pada minimnya sponsor.
6.      Suporter tak akan lagi bisa mendukung Timnas Indonesia di ajang seperti, Asian Games, Pra Olimpiade, Kualifikasi Piala Asia, Kualifikasi Piala Dunia, Piala AFF, dan lain-lain selama sanksi FIFA masih berlaku.  
7.       Klub-klub besar dunia akan mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke Indonesia selama sanksi FIFA masih berlaku.
8.       PSSI dan ofisialnya tidak memperoleh hak terkait program-program pengembangan FIFA, dan juga pelatihan-pelatihan, selama masa hukuman.

Kerugian-kerugian ini tentu bisa semakin membuat lesu persepakbolaan Indonesia, mengingat tak adanya target di level internasional. Sanksi akan dicabut jika persyaratan yang dikeluarkan FIFA benar-benar bisa terpenuhi.


Sumber: